KUPANG, SUARAAKADEMIS.COM – Menyongsong Hari Tani Nasional (HTN) pada 24 September mendatang, Front Mahasiswa Nasional (FMN) Cabang Kupang bersama Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Nusa Cendana (Undana) melakukan kegiatan diskusi di Lopo Sosiologi Undana, Senin (22/9/2025) sore.
Acara ini mengusung tema “Situasi pemuda, mahasiswa, dan kaum tani di tengah masifnya monopoli dan perampasan tanah di Indonesia,” sebagai wadah untuk menyuarakan keprihatinan mendalam terkait isu agraria.
Diskusi yang dimoderatori oleh Frandy ini menghadirkan dua narasumber utama: Agnelia B. Selly, Ketua BEM PT Undana, dan Bung Mado, perwakilan dari FMN Cabang Kupang.
Dalam paparannya, Agnelia B. Selly menekankan bahwa pemuda memiliki peran sentral dalam melawan monopoli dan perampasan tanah. Ia menyerukan agar pemuda tidak sekadar melakukan aksi simbolis, melainkan terus-menerus menyuarakan isu ini untuk melawan segala bentuk penindasan yang bahkan bisa berujung pada kekerasan.
“Pemuda memiliki peran sentral dalam melawan monopoli dan perampasan tanah serta membuat perubahan,” ujarnya.
Agnelia juga menyoroti perpecahan di kalangan pemuda akibat perbedaan pemikiran dan kepentingan. “Pemuda seringkali terpecah dalam berbagai gerakan dengan pemikiran yang berbeda dan kepentingan yang beragam,” ungkapnya.
Ia juga berujar bahwa diskusi ini sebagai langkah awal untuk menyadarkan dan merefleksikan peran pemuda, serta mendorong mereka untuk lebih aktif di masyarakat. Tujuannya adalah membangun gerakan yang solid dan bersatu melalui berbagi pengetahuan dan kesadaran kolektif.
Sementara itu, dari perspektif FMN, Mado menjelaskan bahwa isu monopoli dan perampasan tanah adalah dampak langsung dari diktator imperialisme monopoli yang dipimpin oleh Amerika Serikat. Ia berpendapat bahwa krisis kronis yang dialami negara imperialis diselesaikan dengan mengeksploitasi negara-negara berkembang.
Menurut Mado, masuknya monopoli tanah menyebabkan kaum tani jatuh ke jurang kemiskinan yang sangat dalam. “Kehilangan ruang hidup atas tanah membuat keluarga tani kesulitan menyekolahkan anak-anaknya,” paparnya.
Ia juga menambahkan bahwa akses pendidikan tinggi semakin sulit karena biaya kuliah yang mahal, serta praktik privatisasi dan komersialisasi dalam dunia pendidikan.
Mado menegaskan bahwa perubahan tidak akan lahir dari satu orang, melainkan dari karya berjuta-juta massa. Ia melihat diskusi-diskusi kecil sebagai batu loncatan untuk menyatukan pandangan politik sebelum melangkah ke aksi yang lebih besar, yaitu mengorganisir massa dan berkampanye ke masyarakat luas.
FMN berharap upaya ini dapat berujung pada aksi massa sebagai tuntutan nyata kepada negara.
Dalam diskusi, Bung Flori salah satu peserta, menyampaikan pandangannya bahwa tema diskusi ini diangkat berdasarkan situasi riil di Indonesia. Ia menekankan perlunya golongan mahasiswa dan kaum tani untuk melebur dalam satu gerakan rakyat.
“Tidak lagi mengharapkan gerakan yang terkotak-kotak (mahasiswa, tani, buruh), tetapi gerakan rakyat yang sistematis untuk menuntaskan persoalan perampasan dan monopoli tanah,” tegas Flori.
Ia juga menyoroti kesadaran pemuda mahasiswa yang masih kurang, sehingga diperlukan proses penyadaran, pengorganisasian, dan penggerakan.
Flori berharap proses diskusi ini akan terus berlanjut dan berlipat ganda, karena permasalahan tidak bisa diselesaikan hanya dalam forum, melainkan harus turun ke jalan, mengorganisir rakyat, dan berjuang bersama kaum tani, buruh, perempuan, nelayan, serta seluruh masyarakat tertindas lainnya.
“Kampus harusnya menjadi benteng perjuangan rakyat, bukan menara gading yang jauh dari situasi rakyat,”Solidaritas dan aksi nyata dianggap sebagai kunci untuk menyelesaikan masalah monopoli dan perampasan tanah, khususnya di Nusa Tenggara Timur (NTT).***

 
 
 
 
 
									



